Filename | cerita motivasi |
Permission | rw-r--r-- |
Author | rick |
Date and Time | 09.17 |
Label | motivation |
Action |
> > Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat
> > terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah
> > kering kuning,
> > dan punggung mereka menghadap ke langit.
> > Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda
> > dariku.
> >
> > Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang
> > mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya
> > membawanya,
> > Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.
> > Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat
> > adikku dan aku berlutut di depan tembok,
> > dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
> > "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku
> > terpaku, terlalu takut untuk berbicara.
> > Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi
> > Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian
> > berdua layak dipukul!"
> > Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
> > Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan
> > berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
> >
> > Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
> > bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia
> > terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan
> > nafas.
> > Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu
> > bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri
> > dari rumah
> > sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu
> > lakukan di masa mendatang? ...
> > Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak
> > tahu malu!"
> >
> > Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan
> > kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak
> > menitikkan air mata
> > setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba
> > mulai menangis
> > meraung-raung.
> > Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan
> > berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya
> > sudah terjadi."
> >
> > Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki
> >
> > cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun
> > telah lewat, tapi
> > insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin.
> > Aku tidak pernah
> > akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu
> > itu, adikku
> > berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
> >
> > Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia
> >
> > lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat
> > yang sama, saya
> > diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi.
> > Malam itu, ayah
> > berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya,
> > bungkus demi
> > bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak
> > kita memberikan
> > hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..."
> > Ibu mengusap air
> > matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa
> > gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai
> > keduanya sekaligus?"
> >
> > Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah
> > dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah
> > lagi, telah
> > cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya
> > dan memukul
> > adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang
> > begitu
> > keparat lemahnya?
> > Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan
> > saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"
> > Dan begitu
> > kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk
> > meminjam
> > uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa
> > ke muka adikku yang
> > membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus
> > meneruskan
> > sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah
> > meninggalkan jurang
> > kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan
> > untuk tidak lagi
> > meneruskan ke universitas.
> >
> > Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,
> > adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai
> > pakaian lusuh dan sedikit
> > kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping
> > ranjangku dan
> > meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak,
> > masuk ke universitas
> > tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan
> > mengirimu uang."
> >
> > Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,
> > dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku
> > hilang. Tahun itu,
> > adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
> >
> > Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan
> >
> > uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada
> > punggungnya di
> > lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga
> > (di universitas).
> > Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika
> > teman sekamarku
> > masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun
> > menunggumu
> > di luar sana!"
> >
> > Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku
> > berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh
> > badannya kotor
> > tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya,
> > "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu
> > adalah adikku?" Dia menjawab,
> > tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang
> > akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu?
> > Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
> >
> > Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku
> >
> > menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan
> > tersekat-sekat dalam
> > kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun!
> > Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku
> > bagaimana pun penampilanmu..."
> >
> > Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
> > berbentuk kupu-kupu.
> > Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
> > "Saya melihat semua gadis kota memakainya.
> > Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
> > Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku
> > menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan
> > menangis.
> > Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
> >
> > Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca
> > jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih
> > di mana-mana.
> > Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil
> > di depan ibuku.
> > "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu
> > untuk membersihkan
> > rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu
> > adalah adikmu yang
> > pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah
> > kamu melihat luka
> > pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca
> > jendela baru itu.."
> >
> > Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat
> > mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.
> > Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut
> > lukanya.
> > "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
> > "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di
> >
> > lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku
> > setiap
> > waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."
> >
> > Ditengah kalimat itu ia berhenti.
> > Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata
> > mengalir deras turun ke wajahku.
> > Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
> >
> > Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali
> > suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang
> > dan tinggal
> > bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.
> > Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun,
> > mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku
> > tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu
> > aja. Saya akan
> > menjaga ibu dan ayah di sini."
> >
> > Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan
> > adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada
> > departemen
> > pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
> > Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja
> > reparasi.
> >
> > Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk
> > memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan
> > listrik,
> > dan masuk rumah sakit. Suamiku dan
> > aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada
> > kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak
> > menjadi manajer?
> > Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang
> > berbahaya seperti
> > ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
> > Mengapa kamu tidak
> > mau mendengar kami sebelumnya?"
> >
> > Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
> > keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi
> > direktur, dan
> > saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi
> > manajer seperti itu,
> > berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
> >
> > Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar
> > kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang
> > pendidikan juga
> > karena aku!"
> >
> > "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam
> > tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
> >
> > Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang
> > gadis petani dari dusun itu. Dalam acara
> > pernikahannya, pembawa acara
> > perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling
> > kamu hormati
> > dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,
> > "Kakakku."
> >
> > Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah
> > kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya
> > pergi sekolah SD, ia
> > berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku
> > dan saya berjalan
> > selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke
> > rumah.
> > Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
> >
> > Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia
> > hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
> > Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran
> > karena Cuaca yang
> > begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang
> > sumpitnya. Sejak hari itu,
> > saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan
> > menjaga kakakku dan
> > baik kepadanya."
> >
> > Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu
> > memalingkan perhatiannya kepadaku.
> >
> > Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
> > "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih
> > adalah adikku." Dan
> > dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan
> > kerumunan
> > perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku
> > seperti sungai...
> > terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah
> > kering kuning,
> > dan punggung mereka menghadap ke langit.
> > Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda
> > dariku.
> >
> > Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang
> > mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya
> > membawanya,
> > Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.
> > Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat
> > adikku dan aku berlutut di depan tembok,
> > dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
> > "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku
> > terpaku, terlalu takut untuk berbicara.
> > Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi
> > Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian
> > berdua layak dipukul!"
> > Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
> > Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan
> > berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
> >
> > Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
> > bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia
> > terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan
> > nafas.
> > Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu
> > bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri
> > dari rumah
> > sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu
> > lakukan di masa mendatang? ...
> > Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak
> > tahu malu!"
> >
> > Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan
> > kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak
> > menitikkan air mata
> > setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba
> > mulai menangis
> > meraung-raung.
> > Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan
> > berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya
> > sudah terjadi."
> >
> > Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki
> >
> > cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun
> > telah lewat, tapi
> > insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin.
> > Aku tidak pernah
> > akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu
> > itu, adikku
> > berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
> >
> > Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia
> >
> > lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat
> > yang sama, saya
> > diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi.
> > Malam itu, ayah
> > berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya,
> > bungkus demi
> > bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak
> > kita memberikan
> > hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..."
> > Ibu mengusap air
> > matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa
> > gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai
> > keduanya sekaligus?"
> >
> > Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah
> > dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah
> > lagi, telah
> > cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya
> > dan memukul
> > adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang
> > begitu
> > keparat lemahnya?
> > Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan
> > saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"
> > Dan begitu
> > kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk
> > meminjam
> > uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa
> > ke muka adikku yang
> > membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus
> > meneruskan
> > sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah
> > meninggalkan jurang
> > kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan
> > untuk tidak lagi
> > meneruskan ke universitas.
> >
> > Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,
> > adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai
> > pakaian lusuh dan sedikit
> > kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping
> > ranjangku dan
> > meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak,
> > masuk ke universitas
> > tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan
> > mengirimu uang."
> >
> > Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,
> > dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku
> > hilang. Tahun itu,
> > adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
> >
> > Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan
> >
> > uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada
> > punggungnya di
> > lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga
> > (di universitas).
> > Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika
> > teman sekamarku
> > masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun
> > menunggumu
> > di luar sana!"
> >
> > Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku
> > berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh
> > badannya kotor
> > tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya,
> > "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu
> > adalah adikku?" Dia menjawab,
> > tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang
> > akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu?
> > Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
> >
> > Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku
> >
> > menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan
> > tersekat-sekat dalam
> > kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun!
> > Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku
> > bagaimana pun penampilanmu..."
> >
> > Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
> > berbentuk kupu-kupu.
> > Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
> > "Saya melihat semua gadis kota memakainya.
> > Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
> > Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku
> > menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan
> > menangis.
> > Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
> >
> > Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca
> > jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih
> > di mana-mana.
> > Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil
> > di depan ibuku.
> > "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu
> > untuk membersihkan
> > rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu
> > adalah adikmu yang
> > pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah
> > kamu melihat luka
> > pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca
> > jendela baru itu.."
> >
> > Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat
> > mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.
> > Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut
> > lukanya.
> > "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
> > "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di
> >
> > lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku
> > setiap
> > waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."
> >
> > Ditengah kalimat itu ia berhenti.
> > Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata
> > mengalir deras turun ke wajahku.
> > Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
> >
> > Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali
> > suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang
> > dan tinggal
> > bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.
> > Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun,
> > mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku
> > tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu
> > aja. Saya akan
> > menjaga ibu dan ayah di sini."
> >
> > Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan
> > adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada
> > departemen
> > pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
> > Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja
> > reparasi.
> >
> > Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk
> > memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan
> > listrik,
> > dan masuk rumah sakit. Suamiku dan
> > aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada
> > kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak
> > menjadi manajer?
> > Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang
> > berbahaya seperti
> > ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
> > Mengapa kamu tidak
> > mau mendengar kami sebelumnya?"
> >
> > Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
> > keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi
> > direktur, dan
> > saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi
> > manajer seperti itu,
> > berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
> >
> > Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar
> > kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang
> > pendidikan juga
> > karena aku!"
> >
> > "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam
> > tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
> >
> > Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang
> > gadis petani dari dusun itu. Dalam acara
> > pernikahannya, pembawa acara
> > perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling
> > kamu hormati
> > dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,
> > "Kakakku."
> >
> > Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah
> > kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya
> > pergi sekolah SD, ia
> > berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku
> > dan saya berjalan
> > selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke
> > rumah.
> > Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
> >
> > Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia
> > hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
> > Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran
> > karena Cuaca yang
> > begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang
> > sumpitnya. Sejak hari itu,
> > saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan
> > menjaga kakakku dan
> > baik kepadanya."
> >
> > Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu
> > memalingkan perhatiannya kepadaku.
> >
> > Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
> > "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih
> > adalah adikku." Dan
> > dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan
> > kerumunan
> > perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku
> > seperti sungai...
0 komentar:
Posting Komentar
dofollow blog